Jumat, 15 Juli 2011

Malam Renungan AIDS 2002

MALAM Renungan AIDS atau AIDS Candlelight Memorial pertama kali diadakan di San Fransisco pada tahun 1993. Malam renungan ini bertujuan untuk mengenang para sahabat, keluarga dan kerabat yang telah meninggal karena AIDS, serta meningkatkan kesadaran masyarakat luas dalam menghadapi AIDS dan menghindari stigma dan diskriminasi terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Di Indonesia, malam renungan untuk mengenang para korban AIDS ini mulai diadakan pada tahun 1996 dan berlangsung terus hingga kini.

AIDS memang telah menjadi epidemi yang sangat serius mengancam kesehatan masyarakat dunia, sampai-sampai PBB pun mendirikan badan tersendiri untuk mengurusi epidemi yang satu ini, yaitu UNAIDS. Sementara itu, sejak tahun 1990, Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) yang sudah lebih dulu berdiri juga berperan aktif untuk melawan penyebaran HIV/AIDS, dengan cara menjalankan program yang komprehensif di bidang kesehatan reproduksi. Program ini dilakukan baik melalui pemberian informasi dan pendidikan kepada masyarakat maupun advokasi untuk memobilisasi komitmen politis dan memfasilitasi kebijakan yang mendukung kesehatan reproduksi.

Angka internasional menunjukkan bahwa lebih dari 14.000 infeksi baru terjadi setiap hari. Saat ini, diperkirakan 40 juta orang hidup dengan status HIV/AIDS di dunia. Tahun 2001 lalu saja, sekitar tiga juta kematian terjadi akibat AIDS.

Sedangkan di Tanah Air, sampai bulan Maret 2002, ada 2.830 kasus HIV/ AIDS yang terlaporkan. Jumlah ini tentunya bukan suatu hal yang dapat diremehkan begitu saja, apalagi mengingat adanya fenomena gunung es, yaitu apa yang muncul di permukaan hanyalah seujung kecil dari gundukan yang tersembunyi di bawahnya. Apabila satu kasus menyimpan 100 kasus di bawahnya, bayangkan betapa besar ancaman bagi bangsa kita.

Mengapa sebagai remaja kita perlu waspada terhadap HIV/AIDS? Bukankah selama ini yang meninggal karena AIDS pada umumnya orang dewasa? Kita harus ingat, bahwa seseorang tidak langsung meninggal segera setelah tubuhnya terinfeksi virus HIV. Bahkan tidak ada gejala apa pun sampai sekitar lima sampai sepuluh tahun kemudian. Karena itulah, bila seseorang meninggal karena AIDS pada usia tiga puluhan, berarti ia telah terinfeksi HIV pada usia dua puluhan, yaitu pada saat ia masih remaja.

Ciri khas remaja yang penuh gejolak dan ingin coba-coba kadang kala membuat kita secara tidak sadar bergaya hidup yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV. Seperti kita ketahui, seseorang dapat terinfeksi HIV melalui cairan tubuh, yaitu darah, sperma, cairan vagina dan air susu ibu (ASI) dari seseorang yang yang sudah terlebih dulu terinfeksi, baik pasangan maupun dari seorang ibu ke bayinya. Oleh karena itu, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan pertukaran keempat jenis cairan tubuh tersebut perlu diwaspadai.

Infeksi lewat cairan darah dapat terjadi melalui transfusi, pemakaian jarum suntik, alat tindik, alat tato ataupun alat facial (wajah), yang tanpa disterilkan terlebih dulu dipakai bergantian dengan orang yang sudah terinfeksi. Yang akhir-akhir ini amat mengkhawatirkan adalah meningkatnya secara pesat kasus infeksi HIV di kalangan pengguna narkotik dengan jarum suntik.

Pada awal infeksi, HIV bisa hidup dalam darah seseorang tanpa orang tersebut menunjukkan gejala penyakit tertentu. Masa ini disebut masa HIV positif. Bila segera setelah terinfeksi HIV seseorang memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka pada tes pertama tersebut mungkin saja keberadaan HIV di dalam darah belum dapat terdeteksi. Hal ini disebabkan karena tes HIV tidak mendeteksi keberadaan virus itu sendiri melainkan keberadaan antibodi yang dibuat oleh tubuh kita untuk virus tersebut. Sedangkan antibodi itu baru terbentuk tiga sampai enam bulan setelah kita terinfeksi. Masa ketika kita sudah terinfeksi tapi belum dapat terdeteksi ini disebut window period. Dalam masa ini, seseorang sudah bisa menularkan HIV melalui perilaku atau aktivitas yang disebutkan di atas tadi.

HIV tidak dapat berpindah melalui keringat, udara, gigitan nyamuk, ciuman, sentuhan, pelukan dan pemakaian alat makan ataupun fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam renang. Sehingga, walaupun sangat penting untuk bersikap waspada, kita harus bisa menyikapi epidemi ini secara proporsional. Jangan sampai kewaspadaan ini diwujudkan dengan rasa takut berlebihan yang ditujukan pada ODHA dan bukan pada virus serta cara penularannya.

Banyak anggota masyarakat yang cenderung menjauhi ODHA, memusuhi dan menganggapnya sebagai pembawa sial, baik karena adanya keyakinan bahwa HIV/AIDS merupakan kutukan Tuhan bagi kaum homoseksual, maupun karena takut tertular. Padahal, walaupun pertama kali ditemukan pada kaum homoseksual, saat ini justru pengidap HIV/ AIDS yang terbesar adalah kaum heteroseksual. Selain itu, dari penjelasan di atas tadi tentunya kita tahu bahwa kita tidak akan terinfeksi HIV hanya dengan berada seruangan. Bahkan berjabat tangan ataupun berpelukan dengan penderita pun tidak akan membuat kita tertular.

Sesungguhnya, dukungan sosial sangat diperlukan oleh ODHA agar mereka bisa berbesar hati dan tetap menjalankan aktivitasnya, mengingat sebetulnya mereka memang masih punya banyak waktu sebelum sakit. Sejak terinfeksi oleh HIV, seseorang masih bisa bertahan hidup sehat tanpa gejala apa pun selama lima sampai sepuluh tahun (bahkan bisa lebih), tergantung dari kondisi tubuhnya, sebelum gejala AIDS mulai tampak, yang disebut masa manifestasi AIDS. Makin baik nutrisi yang dikonsumsi, dan juga dengan panjagaan kesehatan yang ketat, makin lama ODHA dapat bertahan hidup dan menjalani aktivitasnya secara normal. Dengan kata lain, bisa saja kita yang saat ini sehat dan tidak terinfeksi HIV lebih dulu menemui ajal karena terkena demam berdarah, misalnya, sedangkan kawan kita yang terinfeksi HIV masih hidup sehat sampai tahun 2010.

Kita seringkali tidak sadar telah menyikapi AIDS dengan cara yang salah. Kita lupa bahwa ODHA juga manusia biasa yang punya perasaan, punya keluarga dan punya keinginan-keinginan untuk berkarya dan mencapai sesuatu dalam hidupnya. Oleh karena itu, mereka tidak bisa dikucilkan begitu saja seperti masyarakat pada zaman dahulu mengucilkan penderita kusta dalam suatu lembah terpencil untuk menanti ajalnya dalam komunitas mereka. Mereka justru harus didukung untuk dapat melanjutkan dan menikmati hidupnya seperti juga kita semua. Oleh karena itulah, di negara-negara maju, perlakuan yang mendiskriminasikan ODHA sama sekali tidak dapat diterima dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Menyadari hal ini, beberapa LSM dan individu secara aktif tidak saja meningkatkan kesadaran masyarakat seputar masalah AIDS dan penularannya, melainkan juga membantu mereka yang sudah terinfeksi untuk menata hidup mereka kembali dan mengajak semua pihak untuk menyikapi masalah AIDS ini secara proporsional dan mendidik masyarakat menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Para aktivis inilah, yang bersama dengan keluarga dan kerabat korban AIDS menyelenggarakan acara Malam Renungan AIDS.

Tahun ini, secara internasional Malam Renungan AIDS ditetapkan pada hari Minggu, 19 Mei. Dalam kenyataannya berbagai LSM atau aktivis AIDS di Indonesia bebas mengadakan acara Malam Renungan AIDS pada sekitar tanggal 19 Mei. Tidak seperti tahun-tahun lalu, tahun ini tidak ada panitia khusus untuk Malam Renungan AIDS Nasional.

Di daerah Jakarta acara malam renungan AIDS antara lain diadakan oleh Yayasan Pelita Ilmu (tanggal 17 Mei), Spiritia, dan oleh Baby Jim Aditya. Aktivis yang terakhir ini kembali mengulang acara seperti tahun lalu di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat pada pukul 20.00. Acara ini didukung oleh beberapa artis, seperti James F Sundah (pencipta lagu Lilin-lilin Kecil), Wayang, dan pengamen jalanan dari Yogyakarta. Baby Jim juga juga akan tampil dalam talkshow tentang AIDS dan narkotika bersama dr Zubairi Djoerban (Yayasan Pelita Ilmu), dan Yani Yahya (Yayasan Titihan Respati).

Selain itu tepat pada peringatan International AIDS Candlelight Memorial Night hari Minggu, 19 Mei malam akan berlangsung acara peluncuran dan telaah buku Jika Ia Anak Kita-AIDS dan Jurnalisme Empati karya wartawan Kompas Irwan Julianto. Bakal tampil sebagai penelaah adalah Ashadi Siregar dan dipandu oleh aktris aktivis AIDS Nurul Arifin. Acara bakal berlangsung di ruang pertemuan kantor Menko Kesra, Jalan Medan Merdeka Barat 3, Jakarta, dan menurut rencana akan dihadiri oleh Menko Kesra Jusuf Kalla selaku Ketua Umum Komisi Nasional Penanggulangan AIDS.

Nah, temen-temen, khususnya yang tinggal di daerah Jakarta dan berkesempatan untuk menghadiri acara ini, yuk, kita dateng dan berpartisipasi! Bagi yang tinggal di kota-kota lain, silakan cek di mana kegiatan Malam Renungan AIDS tahun ini diadakan di kota kalian. Berpartisipasi dalam kegiatan ini penting untuk melatih kepedulian kita kepada ODHA dan juga menambah pengetahuan kita tentang HIV/ AIDS. Buat yang nggak bisa datang, tunggu saja liputannya, dan tetap tumbuhkan rasa kebersamaan dalam menghadapi epidemi ini. Seperti juga bahwa musuh kita adalah kemiskinan dan bukan kaum fakir miskin, musuh kita adalah HIV/AIDS, bukan penderitanya!

Guntoro Utamadi PKBI Pusat


( Dapatkan CD terapi gelombang otak untuk anak hiperaktif ,klik link di bawah ini........ )
Sumber : www.gelombangotak.net/detail/sharper-brain-terapi-hiperaktifadhd.25

Label: , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda