Selasa, 09 Agustus 2011

Telaah Awal Masyarakat "Ikhwan"

Secara sederhana dan umum, suatu masyarakat dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu "kelas atas", "kelas menengah" dan "kelas bawah" (Jangan disamakan, walau mirip  dengan pemikiran Cliford Geerzt --priyayi, santri dan abangan. Atau teorinya C.A. Van Paursen dengan masyarakat  Mitologi, Ontologis dan Fungsionalis).
Dalam beragama, secara social, mereka (tiga golongan diatas) memiliki perbedaan yang sangat mencolok dalam memahami, melihat dan merespon agama dan mereka sangat menentukan dalam pembentukan masyarakat. Masyarakat itu "sehat" atau "tidak sehat" tergantung komposisi mereka dan peranan masing-masing untuk melakukan tugasnya.

Sebab dalam beragama yang intinya adalah keimanan dan kepercayaan,  sedangkan kepercayaan perdefinisi adalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti, otoritas, pengalaman atau intusisi (Kohler, et al,. 1978:48). Bila kita percaya bahwa penyakit cacar karena mahluk halus, maka kita akan cenderung menolak vaksinasi. Bila kita percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, maka KB tidak akan berhasil kecuali mereka memperoleh kepercayaan yang baru. Menurut Solomon E. Asch (1959:565-567), kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan.

Karena ketiga kelompok itu, pengetahuan, kepentingan dan kebutuhannya berbeda-beda, maka kepercayaannya juga beragam. Kelompok pertama, kelas bawah, kita katakan "kelompok Islam rendah", Biasanya punya kecendrungan dengan ikatan komunal, kesukuan atau semi-suku. Masih kuat kepercayaannya pada wali, garis guru-murid dan perkumpulan tarekat. Mereka biasanya memandang agama sebagai "pelarian" dari kesengsaraan mereka, sebagai penghindaran sementara lewat suasana fana yang dirangsang dengan kesufian, tarekat, tokoh karismatik dan wibawa kewali-walian (Gellner;1994). Kita lihat sebagai contoh berapa banyak orang yang ikut acara-acara keagamaan; mereka datang dari jauh dengan kendaraan rombongan dll, padahal secara financial mereka pas-pasan. Mereka jarang datang sendirian, dan biasanya secara ilmu keagamaan mereka rendah bahkan sangat rendah. Mereka mencari barokah, minimal ketemu para guru, ulama dll. Walau mereka tidak menyerap ilmu mereka (guru dan wali-wali tersebut).

Kalau islam kelas bawah, mencari "pelarian" dalam agama, maka kelompok kedua, kelas atas, yang kita namakan "islam tinggi" mencari "peneguhan" (confirmation) atas keadaan mereka yang "cukup" dan gaya hidup mereka yang "nikmat" baik sebagai pedagang, atau memiliki kenikmatan lainnya (kedudukan, status keustadan dll). Biasanya mereka memandang agama secara "skripturalis", menurut aturan, puritan, harfiah, antiekstase, dan lebih "legal-formal".
Biasanya mereka ini kelompok terdiri dari; kaum intelektual-intelegensia (ilmu spesialisnya tinggi tetapi wawasan keagamaannya rendah atau sangat rendah. Contoh ini banyak kaum fundamentalism-berjenggot, Doktor-dogmatis dll, biasanya mereka bukan sarjana keagamaan, banyak yang eksak daripada sosial). Atau pelajar agama, dimana mereka biasanya punya ilmu/kesalehan keagamaan cukup. Banyak kelompok ini adalah para ustad, baik produk local atau alumni timur-tengah. Kita lihat contoh perilaku kelompok ini adalah para ustad pengisi pengajian, baik yang kecil atau besar. Penguasa yayasan atau tidak. Punya stempel korp. "alumni" atau tidak, dll. Biasanya mereka punya klaim, atau mengklaim memiliki pemahaman terhadap agama yang paling murni atau benar, minimal yang paling mendekati kebenaran (disini tidak dipermasalahkan klaim itu benar atau tidak). Kemampuan baca kitab kuning mereka baik atau cukup, walau kitab warna lain terkadang mereka tidak mengerti sama sekali atau minimal sangat kurang. Biasanya mereka ini tidak memiliki gelar kesarjanaan, ataupun kalau punya hanya gelar kesarjanaan "agama".  

Kelompok ketiga, Kelas menengah, yang kita namakan "Islam tengah", mereka biasanya berada ditengah-tengah dua kelompok diatas. Bukan ustad, walau punya pemahaman agama yang lumayan baik, tetapi bukan masyarakat rendah, karena kedudukannya, wawasan, atau kepercayaannya. Biasanya mereka adalah orang-orang yang "menelaah" agama, tetapi tidak menjadi kelompok agamawan atau ustad. Tidak dipanggil atau berperangai ustad. Banyak dari mereka adalah sarjana, tetapi bukan intelektual-intelegensia (yang hanya pandai dibidangnya, dan tidak menggunakan akalnya diluar bidangnya). Mereka biasanya tidak puas dengan kalangan atas, atau membatasi "hegemoni" kekuasaan kelas atas kepada masyarakat bawah. Dengan kritisismenya, protes-protesnya dll. Tetapi mereka ini biasanya tidak banyak punya pengikut dikelas bawah, yang memang lebih menginginkan contoh, figure dan kesalehan simbolik. Walau mereka (kelas ketiga ini) dihormati karena pemahaman dan wawasannya yang terkadang cukup terasakan oleh lapisan bawah.
Bentrok antara tiga golongan ini, dalam melihat agama, kepercayaan dan iman, hampir tidak mungkin dapat dihindari. Yang kami katakan disini karena "kesenjanagan cara berfikir" yang memang agak atau berbeda sama sekali.
Sebab dalam bertindak berlaku hukum-hukum  psikologi (ini kajian ilmu social-empiris, bukan filsafat ontologism) yang mengatakan;  
  • Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Desiderato, 1976:129). Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Penafsiran ini dipengaruhi oleh tidak saja stimulinya tetapi juga attention (perhatian), ekspektasi, motivasi dll. Persepsi juga dipengaruhi oleh personal (orangnya) dan factor situasional.
  • SIKAP adalah kecendrungan bertindak, berpersepsi, berfikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi merupakan kecendrunagan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi atau kelompok.  Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ia relative lebih menetap. Mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.
  • KEBIASAAN adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan. Kebiasaan mungkin merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulang seseorang berkali-kali.
 Karena pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan yang disebabkan oleh persepsi, sikap dan kebiasaan yang beda, maka kepercayaan dan tindakannya akan juga berbeda. Sedangkan secara agak umum, Kebenaran didefinisikan dengan kesesuaian antara Subjek (yang mengetahui) dan Objek (yang diketahui). Subjek adalah manusia, sedangkan Objek adalah apapun diluar manusia (termasuk manusia yang lain). Apabila persepsi, kebiasaan, sikap terhadap objek berbeda, maka akan sukar kalau tidak "sangat sukar" untuk dengan mudah menemukan "kebenaran bersama".
Bentrok pemikiran, perbedaan pendapat antara ketiga kelompok (umumnya hanya dua, yaitu kelas atas dan tengah, kelas bawah kebanyakan hanya digunakan oleh kedua kelas itu) ini hampir merupakan "kemestian-sejarah", tanpa dapat dihindari kecuali hanya diperkecil kesenjangannya. Bila "bentrok kebenaran" ini diserap dengan bijak dan tidak ada mekanisme pengontrol yang represip baik hukuman, stempel "public enemy", musuh masyarakat dll. Maka terbentunya masyarakat yang dicita-citakan akan lebih cepat terbentuk. 

Bukan otoritas keagamaanlah yang akan menyelesaikan bentrok ketiga kalangan ini, tetapi shering-pendapat tentang apa yang dimau masing-masing kelompoklah yang akan menyelesaikan masalah itu. Biasanya kaum "agamawan" mengatakan mereka-mereka kelompok menegah itu yang biasanya "cenderung modernis", sebagai kebablasan, kebarat-baratan dan bahkan terkadang dianggap antek-antek Israel-AS. Sedangkan kelompok menegah, yang terkadang "cenderung modernis" mengatakan kaum agamawan itu kolot, jumut, tradisionalis dan menyebabkan Islam mandek dan mundur serta kalah dengan dunia non-Islam (disini kita tidak membahas hati mereka bagaimana, itu urusan Tuhan).
Terkadang keluar kata-kata; "diskusi, beda pendapat itu boleh-boleh saja, asal tidak meresahkan masyarakat. Jangan masalah-masalah yang krusial, penting dan pelik dibawa keumum. Itu tidak maslahat. (omongan ini biasanya keluar dari orang yang "sok arief" atau penguasa). Kita mungkin bisa mengatakan; tidak maslahat itu menurut siapa? kamu, saya, mereka, atau?. Ini problem, terutama bila ada yang sudah berkuasa. Sebab dengan kekuasaannya mereka dapat membatasi, membredel, bahkan membungkam siapa saja yang menurut mereka tidak baik, dengan alasan dan dalil; meresahkan masyarakat, tidak maslahat dll. Disini kami katakan; 

"bila ada yang membunyikan lagu dangdut, dan kita tidak suka, jangan kita datangi mereka dan kita matikan tape mereka, tetapi mestinya kita juga membunyikan tape dengan lagu yang kita sukai, sehingga dengan itu lagu mereka tidak kita dengar juga tidak didengar oleh orang lain, karena lagu kita yang lebih keras (kan itu semua tergantung merk tapenya, powernya, bassnya dll)". Bila ada yang menulis atau lainnya yang kita kurang sepakat dengannya, bukan bukunya kita bredel, kita caci-maki orangnya, tetapi kita perlu menulis dimedia-masa kita atau umum, alternative opini, kritikannya dll. Apalagi bila kita lebih berkuasa; artinya kesempatan opini tandingan, alternative itu lebih banyak, sehingga "cukup-aneh" bila kita melarangnya untuk terbit atau menghujat dan meneror orangnya.   

Sebab dengan itu semua (membiarkan atau memberikan kesempatan dan keleluasaan pada masing-masing kelompok) maka; kalangan atas terkontrol oleh "ngeyelisme" dan "skeptisme" gaya "kelas islam menengah", dan kaum bawah atau "Islam bawah" akan tercerahkan karena pandangan kelompok tengah menjadi opini alternative disamping opini kelas atas. Demikian juga kalangan atas dapat mengerem kemungkinan kebablasan kelompok tengah, dan juga memberi alternative informasi kelas bawah. Dengan makin tercerahkannya kelas bawah (yang memang secara jumlah adalah mayoritas) karena ada opini-opini alternative, "jelas" akan lebih mudah dalam pembentukan "masyarakar yang baik".
Dengan ini semua (banyak alternative, pilihan dan pluralisme wacana kebenaran), maka kebebasan-kesadaran (yang sangat ditekankan dalam agama, dalam menilai baik atau buruknya seseoarang) sangat menentukan keberhasilan individu/masyarakat dalam memilih tawaran itu semua. Disinilah kemungkinan akan "lebih mudahnya" terbentuk apa yang kita namakan "demokratisasi pemahaman", "demokratisasi kebenaran" yang akhirnya akan menjadi apa yang kita cita-citakan sebagai "Demokrasi Islam" dan "Masyarakat Islam".
"Dan selamanya kebenaran sebagaimana dia-ada dan-benar akan hanya dapat kita dekati tanpa dapat kita meraihnya".
***Wallahu a'lam bi al-shawab.

{ Dapatkan CD terapi gelombang otak untuk Mencapai tingkatan tertinggi dalam meditasi, kesadaran, kejernihan dan kebijakan. Membuat perjalanan mimpi Anda lebih nyata dan terorganisir , klik link di bawah ini.......}
sumber : www.gelombangotak.com/lucid_dream_raga_sukma.htm

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda