Rabu, 10 Agustus 2011

Pendidikan yang Memanusiakan Manusia

Pendidikan secara umum berarti “upaya yang bertujuan”. Oleh karena itu maka “tujuan” menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah pendidikan. Lalu pertanyaan yang mesti diajukan adalah “apa tujuan pendidikan” yang seharusnya. Pertanyaan ini mengharuskan kita untuk mau tak mau menengok “filsafat manusia”. Dengan melihatnya maka kita akan tahu apa itu manusia dan apa tujuan yang seharusnya diinginkan untuknya.

Dalam Islam ada suatu filosafi dasar yang diterima umum, bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Allah. Ia diciptakan memiliki tujuan mulia yaitu Pertama; “beribadah kepada Allah” dan kedua; Diinginkan untuk menjadi khalifah dimuka bumi”. Ini adalah tujuan diciptakannya manusia oleh allah dimuka bumi. Maka seyogyanya dan seharusnya kita mengikuti tujuan rancangan diciptakannya manusia dimuka bumi itu oleh Allah. Sebab bila pencanangan tujuan tidak sesuai dengan “disain awal” maka akan gagallah apapun upaya pendidikan, metode yang dilakukan. Sebab metode itu sebenarnya urusan “efisiensi” (melakukan sesuatu dengan benar), sedangkan canangan tujuan mengarah pada “efektifitas” (melakukan yang benar).

Setelah kita “selesai” dengan tujuan ini (walau mungkin itu perlu elaborasi dan diskusi lebih panjang lagi), maka kita mulai melihat manusia itu, kita menengoknya dalam kaca-mata filsafat manusia.  Apa itu manusia (setelah kita tahu tujuan diciptakannya). Disini mungkin akan ada pertanyaan, apakah tidak seharusnya ditanyakan dulu apa itu manusia baru apa tujuan manusia diciptakan dimuka bumi? Metode ini bisa dilakukan bolak-balik, yang terpenting adalah sinaran informasi yang kita pakai adalah “Wahyu” sebagai landasan Islami.


Apa itu Manusia? Manusia adalah
1) Ia adalah hewan rasional, artinya ada sisi hewani dan sisi insaniah (rasional). Sisi hewaniah berarti ia bertindak dengan dan dipengaruhi oleh Insting/determisime. Dan ada sisi rasional, artinya manusia perlu orientasi, kesadaran, dan memiliki kebebasan dalam bertindak atau melakukan sesuatu. Sehingga dengan dua kecendrungan ini maka keliru sekali pendekatan Psikologi yang murni Behaviorisme (Skinner, Bandura, Rotter dll) atau murni Kognitif (Piaget, Kholberg, Lewin, Heider dll). Oleh karena itu kita harus meliriknya semua baik Psikologi Humanisme (Rogers, Combs, Maslow, Perls dll), Psikoanalisis (freud, Jung, Adler, Bion dll) disamping dua pendekatan tadi.


Perlu sentuhan-sentuhan hewaniah (pengkondisian, hukuman dll), tidak seperti A.S. Neil (1883-1973) dll yang tidak menginginkan paksaan apapun dalam pendidikan (Fifty Modern Thinkers on Education, Joy A Palmer ed). Padahal persepsi menentukan tindakan, dan persepsi itu terjadi dan berkembang seumur hidup. Apakah pendidikan ‘sholat subuh’ tak perlu dikondisikan dalam agama Islam? Tidakkah anak bila sudah “akil balih” harus melaksanakan taklif Syar’I atau kewajiban syariat, “tidak ada kebebasan” disini (dalam arti bebas tidak mengikuti hukum, bebas tidak menjadi manusia, dll).
Tetapi ini bukan dominant pada manusia, sebab sisi hewaniah itu ada tapi proporsinya cukup kecil, yang banyak adalah sisi rasionalnya, kesadaran. Sehingga disini manusia penuh dengan pertimbangan, perlu penyadaran, penjelasan, argumentasi untuk melakukan atau menginginkan sesuatu.


2) Manusia adalah mahkuk social, dimana kesosialannya itu dominant, dan ini dapat kita lihat bagaimana “bahasa” sebagai pengungkap ekspresi yang diinginkan, diketahui atau yang mau dilakukan dipengaruhi kemampuan, penggunanan, penguasaan bahkan intonasinya oleh “masyarakat’ dimana ia tinggal. Hampir “semua hal” manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Bahkan “hasil pikiran, pengetahuan” katanya tidak akan lepas kapan pemikiran, teori itu ditemukan atau dikemukakan (lihat saja sosiologi pengetahuan, Peter, L Berger, arkeologi pengetahuan, Foucoult, dll).
Oleh karena itu manusia tidak mungkin diisiolasi dalam kesendirian, laboratorium saja dst, mereka perlu komunikasi, sosialisasi dengan manusia lainnya.


3) Manusia adalah mahluk ciptaan Allah, sehingga dalam segala tindakannya harus mengarah pada tujuan penciptaan oleh Tuhan, yaitu untuk ibadah dan menjadi khalifah/pemakmur dimuka bumi. Artinya dalam segala tindakannya manusia harus mengarahkan itu semua untuk ibadah. Lalu apa itu ibadah? Ibadah dari kata a-b-d, abid, budak, dimana kita harus tunduk dan patuh, serta menyenangkan kepada yang diabidi (tuan, pemiliknya, yaitu Allah). Sedangkan allah sendiri tidak memerintahkan apapun kecuali tujuannya kembali kepada manusia (karena Dia Allah tidak butuh apapun dari makhluknya). Jadi dapat kita simpulkan “Ibadah” adalah apapun yang mengarah kepada allah (sekalipun itu tampaknya duniawi, belanja dipasar, jualan, riset kimia di laboratorium dll), sedangkan apapun yang menjauhkan kepada allah itu keingkaran (sekalipun tampaknya ibadah, sholat, baca al-qur’an, sodaqoh, mengajar dll).  


Oleh karena itu melihat dari “Apa itu Manusia”, “Untuk apa Manusia diciptakan”, maka kita seharunya menyusun kurikulum, apa yang mestinya diajarkan, berapa beban perminggunya dll. Berdasarkan wawasan, orientasi diatas. Inilah kerangkan “Pendidikan Idealime Islam”. Dimana manusia disentuh dalam tiga aspek sekaligus yaitu “ Iman, Ilmu dan Amal”, Tuhan, Akal dan Masyarakat”. Bagaimana keseimbangan ini harus dilakukan? Apa proporsinya sama? Atau dominant “Tuhannya”. Itu tergantung kebutuhan. Tetapi yang mesti kita lakukan adalah “ bagaimana memanusiakan manusia”. Sehingga manusia tidak menindas manusia lain, atau manusia ditundukkan untuk kepentingan yang lain, seperti industrialisasi, pembangunan, kapitalisme dunia dst. Sehingga sekolah-sekolah dan semua lembaga diarahkan kesana. Itu bisa kita lihat bagaimana jam-jam Agama sangat minim 2 jam/minggu.


Sementara IPA, IPS, Matematikan hampir 80%. Ini semua untuk supaya anak-anak didik nantinya mampu terintegrasi ke dunia kerja, industrialisasi dst. Sekalipun seperti kata Karl Marx dan juga “Islam”, mereka tidak lagi menjadi manusia, karena mereka sudah tidak punya waktu luang, mereka mirip robot, sehingga sisi manuisawi, refleksi diri hampir tidak pernah dilakukan, kecuali mengikuti prosedur, rutinitas dan serba instant. Mereka teralienasi dari dirinya. Mereka jadi penindas, padahal dia diciptakan bukan untuk seperti itu, mereka menjadi madlum, didholimi, dan terpaksa bekerja, padahal mereka diciptakan dengan “khurriyah, kebebasan”. Yang dholim teralienasi dari dirinya/kemanusiaannya, yang didholimi juga teralienasi dari dirinya/kemanusiaanya. Sama-sama keluar dari kodratnya/tujuan diciptakannya, karena salah dalam sentuhan-sentuhan sisi manusianya dan tidak menyadari tujuan diciptakannya.

Kita (daerah-daerah pinggiran) mungkin belum masuk kemasalah itu dengan parah, maka disinilah kita mesti memiliki orientasi, sehingga kita mampu meramu kurikulum, tujuan pendidikan dll dalam Proses Belajar Mengajar” sehingga mengarah ke dua “Grand Teori Dasar” (apa itu manusia dan tujuan diciptakannya) diatas. Sedangkan metode, quantum learning, Multiple intelegent, kelas unggulan dll, itu sah-sah saja, sebab itu semua berhubungan dengan “efisiensi” proses belajar mengajar, sedangkan “efektifitas” sudah kita canangkan dengan benar. Bila efektifitas kita salah, maka metode-metode canggih itu semua tidak ada artinya atau malah hanya akan mengantarkan kita lebih cepat kearah kehancuran kemanusiaan kita. Wallahu a’lam. 

***Oleh: Muhammad Alwi, SE., MM. 

{ Dapatkan Buku " RAHASIA DAHSYAT TERAPI OTAK"  Plus Bonus CD, klik link di bawah ini....}
Sumber : www.gelombangotak.com/Buku_RASAIA_DAHSYAT_TERAPI_OTAK.htm

Label: , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda