Rabu, 13 Juli 2011

Homoseksual: Genetik atau Pilihan?

Tak bisa dipungkiri, meski eksistensinya masih menimulkan pro-kontra, kaum homoseksual ada di sekitar kita. Dalam About disebutkan, kaum homoseksual (yang pria disebut gay, yang wanita lesbian) memiliki kekurangan dan kelebihan. Ada yang bersifat baik, ada yang jahat. Ada yang punya tingkat intelektual tinggi, ada juga yang pas-pasan. Sama halnya seperti pria atau wanita yang bukan gay atau lesbian.

Nyatanya, ada orang yang menjadi homoseksual sejak kecil. Tapi, ada juga yang tadinya straight (atau heteroseksual), setelah dewasa baru menikmati kehidupan homoseksual. Itu sebabnya, banyak pertanyaan terlontar, seperti, apakah menjadi homoseksual itu kodrat atau pilihan?

 
 Pengaruh lingkungan

Para ahli hingga kini belum menemukan jawaban pasti. Penelitian terhadap hypotalamus otak yang mengontrol emosi kesenangan manusia, mengarah kepada kesimpulan bahwa kecenderungan homoseksual lebih merupakan sebuah kodrat. Benarkah?

"Saya tidak tahu apakah gay itu merupakan kodrat," kata Yati Utoyo Lubis, psikolog dari Fakultas Psikologi UI. "Tapi, dalam ilmu psikologi, seseorang bisa menjadi gay atau tidak itu salah satunya ditentukan faktor bawaan (genetik). Saya pribadi tidak setuju apabila gay dikatakan sebagai kodrat, karena hal itu berkaitan langsung dengan agama, dan bagi masyarakat yang memegang teguh norma agama, hal itu jelas tidak bisa diterima."

Rupanya, memang belum ada kata sepakat dari para ahli untuk urusan ini. Sebagian penelitian menyebutkan bahwa kecenderungan homoseksual memang sudah ada sejak lahir, sebagian lagi menyimpulkan bahwa hal itu terjadi karena lingkungan. Teori ketiga lain lagi, yaitu bahwa homoseksualitas itu merupakan pilihan.

"Bagi mereka yang baru menjadi gay setelah dewasa, itu bisa dikatakan sebagai pilihan gaya hidup mereka. Tapi, hal itu tidak lepas dari pengaruh lingkungan," kata Yati menegaskan. "Dalam ilmu psikologi, hal seperti ini disebut sebagai "proses conditioning", di mana manusia menggunakan kemampuannya untuk belajar dan beradaptasi, dalam hal ini adalah belajar dan beradaptasi dengan dunia gay."

Terlepas dari perbedaan argumentasi itu, sebagian orang sangat menyesal dan terbelenggu mengetahui dirinya sebagai gay, walaupun yang lain justru menikmati tanpa masalah. Ada sebagian dari mereka menilai bahwa menjadi gay merupakan keterbatasan, walaupun yang lain menerimanya sebagai anugerah.

Kalau bukan karena kecenderungan bertingkah laku "feminin" pada sebagian kaum gay, sangat sulit menentukan orientasi seksual, karena ada juga gay yang lebih maskulin dari orang yang straight. Hanya ketertarikan terhadap objek seks saja yang membedakan mereka gay atau tidak.

 Keinginan kaum gay

Menurut Dede Oetomo, aktivis kaum gay, apa yang diinginkan kaum gay sebenarnya sederhana, yakni bisa diterima oleh keluarga, di mana pendidikan seksual dalam strata rumah tangga bisa mengatakan bahwa gay atau homoseksual adalah hal yang biasa.

Mungkinkah itu terjadi? Tampaknya kita harus kembali lagi ke fakta awal, seperti pendapat Yati yang mengatakan bahwa menjadi homoseksual sangat tergantung dari kemampuan lingkungan untuk memberikan kesempatan. "Kalau mereka hidup di tengah-tengah komunitas yang banyak gay-nya atau yang excuse terhadap gay, maka kemungkinan untuk menjadi gay lebih besar. Tapi, apabila mereka hidup di lingkungan yang mencegah atau yang mengatakan bahwa gay itu salah, maka kemungkinan untuk menjadi gay pun kecil."

Jadi, apakah menjadi homoseksual merupakan pilihan? "Yang pasti, apakah gay merupakan kodrat masih polemik, tetapi bahwa gay dipengaruhi faktor genetik atau lingkungan kemungkinannya besar." Begitu pendapat Yati.

(sumber: Astaga.com, 02 May 01, 07:29 WIB dalam website Pria dalam cermin)

{ Dapatkan CD terapi gelombang otak untuk menarik Cinta lawan jenis,klik link di bawah ini .....}
Sumber : www.gelombangotak.com/Menarik lawan jenis.htm

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda