Rabu, 27 Juli 2011

Remaja dan “Kecelakaan''

Dengan mengecualikan kasus perkosaan, kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) di kalangan remaja berhubungan erat dengan perilaku seksual remaja itu sendiri. Saat ini, hubungan seksual pra-nikah semakin sering kita dengar dilakukan oleh remaja, terutama mereka yang tinggal di kota besar. Pada tahun 2000 PILAR-PKBI Jawa Tengah bekerja sama dengan Tim Embrio 2000 melakukan baseline survey tentang Perilaku Seksual Mahasiswa di Semarang dengan mengambil 127 responden (64 laki-laki dan 63 perempuan) dari berbagai perguruan tinggi di Semarang. Dari hasil survey ini terungkap bahwa aktivitas yang dilakukan saat pacaran tidak hanya ngobrol, memeluk, atau mencium bibir, tapi sudah lebih jauh yaitu meraba daerah sensitive (48%), melakukan petting (28%) bahkan 20% di antaranya melakukan intercourse atau hubungan seksual sampai tahap penetrasi. Mengingat terbatasnya sample yang diambil, hasil survey ini memang tidak dapat dikatakan menggambarkan keadaan remaja di seluruh Indonesia. Kenyataan yang sesungguhnya terjadi bisa saja tidak seburuk itu, walaupun juga tidak tertutup kemungkinan bahwa keadaan remaja kita lebih parah lagi.  
Selanjutnya yang lebih memprihatinkan, hubungan seks di kalangan remaja tersebut tidak dilakukan dengan aman dengan menggunakan alat kontrasepsi (dari 27 responden yang menjawab telah melakukan hubungan seksual, 16 orang atau 61.5% di antaranya mengatakan tidak menggunakan alkon). Alasan yang diberikan adalah karena alkon tidak memuaskan dan membuat hubungan seks kurang nyaman, bahkan ada yang menjawab karena kurang persiapan.

Dengan tidak digunakannya alkon, sama halnya dengan kasus penularan PMS, KTD seringkali tidak dapat dihindari. Apa yang akan dilakukan jika memang terjadi KTD? Sebelas responden menjawab akan meneruskan kehamilan, sedangkan delapan orang menjawab akan menggugurkannya, sementara sisanya menjawab tidak peduli dan lain-lain.
Sementara itu, dari hasil jajak pendapat sederhana yang dilakukan oleh CMM PKBI DKI Jakarta berkaitan dengan kasus KTD, terungkap bahwa 75.2% dari 207 responden menjawab bahwa menikah merupakan alternatif pemecahan masalah KTD, dan hanya 6.8% yang menjawab aborsi sebagai pilihan.

Terlepas dari itu, hasil studi yang dilakukan di sepuluh kota besar dan enam kabupaten di Indonesia tahun 1997 mengungkapkan, angka kejadian aborsi mencapai dua juta setahun dan menurut perkiraan, setengah dari jumlah itu dialami oleh remaja.

Banyak alasan yang berada di balik angka yang tinggi ini, dan tidak seluruhnya murni merupakan keinginan remaja yang hamil. Dalam hal ini, pasangan dan orang tua memegang peranan penting terhadap dilakukannya aborsi. Banyak orang tua yang bersikeras agar putrinya yang hamil menjalani aborsi dengan alasan agar keluarga terhindar dari aib maupun agar putrinya tadi tidak kehilangan masa depan. Hal ini juga tidak terlepas dari kenyataan yang ada di kehidupan sosial, yaitu bagaimana masyarakat bersikap terhadap remaja yang hamil.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Tim Embrio PILAR Semarang tentang sikap terhadap siswi yang hamil saat sekolah menunjukkan, sebagian besar (63 dari 100 responden) menyatakan bahwa sekolah harus menghukum siswi yang hamil saat sekolah, dan hukuman ini dapat diberikan dalam bentuk dikeluarkan dari sekolah (67%), diskors (16%) dan dipindahkan (9%).

Walaupun ketika ditanya siapakah pihak yang bertanggung jawab dalam terjadinya KTD, sebagian besar (78.2%) responden jajak pendapat sederhana CMM di Jakarta merespon bahwa KTD merupakan kesalahan kedua belah pihak, baik cowok maupun cewek, hal ini tidak berarti bahwa konsekuensi dari KTD ini akan ditanggung secara seimbang oleh keduanya. Sanksi sosial ini dirasakan jauh lebih berat bagi remaja perempuan yang hamil dibandingkan dengan remaja pria yang menghamili ceweknya tadi.

Bagaimana tidak, saat ini sekolah-sekolah tidak memperbolehkan siswinya yang hamil untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Mereka akan dikeluarkan dari sekolahnya dengan alasan mengganggu kegiatan belajar mengajar dan akan dapat mempengaruhi nama baik sekolah itu. Sementara itu, si remaja pria masih bisa meneruskan pelajarannya. Mungkin, hal-hal semacam inilah yang membuat banyak pihak menginginkan aborsi sebagai jalan pintas pemecahan bagi masalah KTD. Namun sekarang pertanyaannya, betulkah aborsi merupakan solusi terbaik bagi KTD di kalangan remaja?
Banyak pihak yang mempunyai opini kuat terhadap aborsi, sampai terdapat dua kubu yaitu yang pro-life atau membela kehidupan apapun yang terjadi alias anti-aborsi, dan kubu pro-choice yang menekankan bahwa pilihan untuk meneruskan kehamilan atau tidak merupakan hak perempuan itu sendiri sepenuhnya. Terlepas dari itu, harus selalu diingat bahwa apapun pilihan yang kita ambil, semua mengandung konsekuensi bagi kita di masa depan.

Menjalani aborsi yang tidak aman secara medis, misalnya yang dilakukan bukan oleh dokter yang ahli akan sangat berisiko terhadap kesehatan kita. Komplikasi yang mungkin dialami dari aborsi yang tidak aman ini mencakup infeksi, pendarahan hebat serta kerusakan permanen pada organ reproduksi yang lebih jauh dapat mengakibatkan infertilitas atau bahkan kematian.

Selain itu, melakukan aborsi tidak sama dengan mengingkari kenyataan bahwa seseorang pernah mengalami kehamilan, seberapapun muda usia kehamilan itu. Karena itulah, walaupun aborsi dilakukan oleh dokter ahli dengan melalui prosedur yang baku sehingga risiko kesehatan akan sangat kecil, tidak berarti bahwa tidak ada lagi risiko lain. Banyak di antara wanita yang pernah menjalani aborsi mengalami trauma psikologis. Mereka dihantui oleh penyesalan dan didera perasaan bersalah terus menerus seumur hidup. Belum lagi kalau sampai langkah aborsi yang diambil diketahui orang lain. Penderitaan psikologis tadi  masih ditambah lagi dengan reaksi negatif dari masyarakat.

Terus, apa dong alternatif yang lain? Aborsi bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah KTD. Pilihan lain yang dapat diambil tentu saja adalah meneruskan kehamilan tersebut dengan berbagai kondisi yang sesuai dengan keadaan yang terjadi. Remaja yang hamil dapat pergi ke shelter atau tempat penampungan bagi ibu-ibu muda yang hamil tanpa suami/tidak menikah. Mereka ditampung di suatu tempat sampai saat melahirkan tiba. Bayi yang dilahirkan dapat dipelihara sendiri maupun diserahkan untuk diadopsi oleh pasangan yang memang mendambakan anak.

Kalau pihak cowoknya bertanggung jawab, menikah bisa dijadikan jalan keluar. Setelah bayi yang dikandung lahir, pasangan ini dapat membesarkan anaknya seperti yang dilakukan pasangan-pasangan lain yang kehamilannya memang dikehendaki. Kalau pilihan ini yang diambil, kita harus ingat untuk terus meningkatkan atau mengembangkan diri dengan meneruskan pendidikan. Memang berat untuk sekolah sambil kerja dan membesarkan anak. Tapi juga harus diingat bahwa membesarkan anak tidak saja memerlukan biaya, tapi juga kepandaian serta kematangan berpikir untuk dapat mendidik anak kita menjadi orang yang berguna di masyarakat.

Pilihan lain, yang juga tidak kalah berat adalah menjadi single parent atau orang tua tunggal. Hal ini bukan hal yang mudah karena akan melelahkan baik secara fisik maupun mental. Belum lagi harus menghadapi tekanan dari masyarakat yang seringkali menghakimi wanita yang punya anak di luar lembaga pernikahan. Namun, banyak juga kok yang berhasil. Mereka bahkan mendapatkan kebahagiaan bersama anaknya dan bersyukur tidak menggugurkan kandungan ketika mengalami KTD.

Nah temen-temen, ternyata berat sekali ya, konsekuensi dari perilaku seksual yang tidak aman? Kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit dan tidak mudah dilaksanakan. Makanya, buat yang belum terlanjur, marilah kita meninjau kembali perilaku seksual kita serta melakukan introspeksi diri, apakah selama ini gaya pacaran kita sudah sehat ataukah masih menyerempet-nyerempet bahaya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi remaja cewek, lho. Buat yang cowok, kita harus punya rasa tanggung jawab. Kalau pasangan kita sampai hamil gara-gara kita nggak bisa mengelola dorongan seksual, kita juga yang harus menanggung akibatnya. Kita kan nggak mau menyandang predikat pengecut dengan lari dari tanggung jawab toh? Sementara itu, bagi orang tua, hal yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk memberikan informasi yang tepat seputar seksualitas dan memberikan bekal bagi remaja untuk dapat berperilaku seksual yang sehat.

(Guntoro Utamadi, PKBI Pusat)


{ Dapatkan CD terapi gelobang otak untuk menarik cinta lawan jenis , klik link di bawah ini.......} 
Sumber : www.gelombangotak.com/Menarik lawan jenis.htm

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda