Rabu, 27 Juli 2011

Remaja dan Anak Indonesia

Selama hampir dua dekade, tanggal 23 Juli selalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional, yang (seharusnya) menunjukkan kepedulian yang tinggi pemerintah Indonesia terhadap generasi penerus khususnya anak-anak. Apalagi Indonesia telah merativikasi Konvensi Hak Anak (KHA) Internasional pada tanggal 5 Oktober1990. Namun kita masih merasa bahwa anak Indonesia belum sepenuhnya diakui sebagai individu yang utuh dan dihargai hak-haknya. Pelanggaran hak anak masih banyak ditemukan.

Menurut KHA, batasan anak adalah sampai usia delapan belas tahun, sedangkan lewat dari itu masuk dalam kategori dewasa. Dengan demikian, sebagian besar dari kita para remaja ini masih termasuk dalam definisi anak. Karena itulah, kita perlu mengenal lebih jauh masalah apa yang dihadapi oleh anak dan remaja di Indonesia, sehingga kita juga tahu bagaimana harus bersikap.

KHA memuat tiga hak dasar anak, yaitu hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak perkembangan. Hak perkembangan mencakup perkembangan fisik, perkembangan mental (terutama yang menyangkut pendidikan), perkembangan moral dan spiritual, perkembangan sosial (misalnya memperoleh informasi yang tepat baik dari sumber nasional maupun internasional, menyatakan pendapat dan berserikat), serta perkembangan secara budaya. Hak untuk hidup dan kelangsungan hidup akan menjamin anak untuk terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh negara maupun orang dewasa sekitarnya.

Meskipun KHA sudah dinyatakan berlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990, masih banyak kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa anak Indonesia belum sepenuhnya terlindungi. Bahkan masih ada beberapa peraturan yang terasa mendiskriminasi anak. Contohnya saja, UU no.4 tahun 1997 tentang kesejahteraan anak. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa definisi anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum kawin. Ini berarti, kalau kita berusia 17 tahun dan sudah kawin, misalnya, berubah status menjadi dewasa berdasarkan hukum. Akibatnya, dia kehilangan haknya sebagai anak (sumber: Konvensi Hak Anak, Panduan bagi Jurnalis, LSPP 2000).
Sementara itu, pelanggaran terhadap hak anak juga masih banyak terjadi di Indonesia, seperti juga yang dialami anak dan remaja di negara berkembang lain. Misalnya kasus buruh anak, yang dipekerjakan di tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka, dengan upah yang tidak memadai, dengan jam kerja lebih panjang dari seharusnya, serta tanpa jaminan kesejahteraan.

Belum lagi kasus trafficking, yang dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan pastinya (bagaimana bisa diatasi, kalau terjemahannya saja tidak ada, berarti belum diakui sebagai suatu masalah tersendiri). Pada kasus ini, anak dijual dan dijadikan pembantu rumah tangga, dilacurkan, dijadikan pengemis, pengedar narkotika atau dieksploitasi di tempat kerja berbahaya sepaerti jermal, tambang, perkebunan dan sebagainya. Saat ini bahkan dikenal modus baru seperti anak diadopsi secara palsu, direkrut untuk perang, serta kasus-kasus pedophilia.

Dalam masyarakat kita sendiri masih terdapat ambiguitas. Di satu sisi, anak tidak diakui eksistensi dan haknya. Hal ini tercermin dalam, misalnya, tidak didengarkannya keinginan anak. Anak dianggap tidak bisa apa-apa, sehingga semua ditentukan oleh orang tua dan orang dewasa di sekitarnya. Orang tua seringkali memaksa anaknya untuk ikut berbagai kegiatan dengan alasan untuk mengarahkannya, tanpa memandang bahwa si anak kecapaian dan kehilangan waktu bermain. Dengan alasan melindungi anak, orang tua juga kadang kala memproteksi anaknya secara berlebihan. Ujung-ujungnya, anak menjadi tidak mandiri karena memang tidak dibiasakan untuk mengurus dirinya sendiri.

Namun di pihak lain, seseorang yang menurut usianya masih tergolong sebagai anak-anak, tapi sudah menikah, langung dikeluarkan dari dunia anak dan tidak lagi diakui haknya sebagai anak. Misalnya saja seorang remaja kelas dua SMA yang mengalami kehamiilan tidak diinginkan (KTD) dan kemudian menikah. Ia dikeluarkan dari sekolah (berarti haknya sebagai anak untuk mendapatkan pendidikan dicabut), dan disamakan dengan orang dewasa lainnya, dengan kewajiban orang dewasa. Padahal, tadinya waktu masih menjadi anak, ia tidak dibekali dengan keterampilan dan kemampuan untuk hidup sebagai manusia dewasa. Tentu saja si remaja yang tiba-tiba diharapkan menjadi dewasa ini akan mengalami kebingungan dan kesulitan menyesuaikan diri.

Hal yang lebih sering dialami anak dan remaja kita dari berbagai kalangan adalah terbatasnya (atau, lebih tepatnya, dibatasinya) akses terhadap informasi yang tepat. Misalnya saja dalam masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas. Sampai sekarang masih banyak orang dewasa yang berpendapat bahwa pendidikan tentang seksualitas tidak perlu bagi anak, karena justru akan merangsang keinginan mereka untuk melakukan hubungan seksual sebelum waktunya. Padahal, berbagai studi sudah menunjukkan bahwa bila anak dan remaja betul-betul mengerti akan risiko dan konsekuensi dari sebuah hubungan seksual, mereka justru akan sangat berhati-hati dan lebih bertanggung jawab terhadap perilakunya sendiri.

Lebih jauh lagi, pemberian informasi yang memadai mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas juga akan menghindarkan remaja dari keinginan untuk  mengambil jalan pintas, yaitu melibatkan diri dalam pelacuran remaja. Saat ini, banyak remaja yang menjadi pekerja seks komersial, selain karena masalah ekonomi, juga karena minimnya pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi, terutama tentang risiko yang dihadapi bila mereka melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang banyak dan berganti-ganti.

Selain itu, sebagian dari masyarakat, dalam hal ini orang tua, guru, tokoh masyarakat dan agama masih menutup mata terhadap kenyataan tentang perilaku seksual remaja dewasa ini. Mereka menganggap (karena mereka berharap) bahwa remaja saat ini masih sama polosnya dengan mereka pada usia remaja puluhan tahun yang lalu. Orang tua menolak kenyataan bahwa, karena banyaknya rangsangan dari luar yang tidak diimbangi dengan informasi yang tepat dan memadai, perilaku seksual remaja sekarang cenderung menyerempet bahaya.

Sebagai akibatnya, setiap kali ada penelitian yang menyebutkan perilaku seksual remaja, orang tua selalu menunjukkan reaksi berlebihan yang intinya menolak kenyataan tersebut. Sebetulnya ini merupakan reaksi yang gegabah, karena justru akan menghambat upaya untuk mengatasi masalah yang sebenarnya. Ujung-ujungnya, remaja juga yang menjadi korban.
Sekarang, apa yang bisa kita lakukan? Setelah mengetahui apa saja hak kita sebagai anak, kita juga harus rajin mencari tahu lebih jauh tentang hal-hal yang menjadi hak kita tersebut. Sudah waktunya bagi kita untuk belajar mengemukakan pendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri kita.

Misalnya, kita harus bisa menuntut bahwa kita harus bebas dari segala tindak kekerasan. Karena negara mempunyai kewajiban untuk melindungi kita dari kekerasan, kita juga harus tahu, ke instansi negara mana kita bisa minta bantuan ketika kita mengalami tindak kekerasan.

Setelah itu, kita juga bisa mulai mengajak remaja lain untuk mengenal hak-hak dan menyuarakan pendapatnya, serta meyebarkan informasi ini kepada teman-teman mereka yang lain lagi. Demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya semua remaja sadar akan haknya sehingga tidak dapat lagi diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak lain.   

* Guntoro Utamadi, PKBI Pusat

 { Dapatkan DVD General brainwave kumpulan semua audio gelombang otak , klik link di bawah ini.....} 
Sumber : www.gelombangotak.com/General-Brainwave_Kumpulan_Semua_Audio_gelombang_Otak.htm

Label: , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda